Saat istirahat kerja, aku lagi santai di ruang staf. Tapi entah kenapa, si manajer malah datang dan bilang..
“Kalau temenmu di sini, istirahatnya mending di luar aja, bareng dia.”
Aku coba nolak, tapi dia cuma ketawa sambil bilang, “Udah, udah, nggak usah banyak alasan,” sambil dorong aku keluar.
…Dari wajah nyengirnya sih, kelihatan banget dia lagi mikir yang aneh-aneh.
Dengan berat hati, aku pun jalan ke meja Wakamiya yang lagi makan donat kayak biasa. Mukanya bahagia banget.
“…Enak banget ya kelihatannya.”
“Eh, Tokiwagi-san lagi istirahat ya?”
“Yah, bisa dibilang begitu.”
“Kalau gitu, silakan duduk. Tapi tunggu sebentar, aku beresin dulu buku-bukuku.”
Dia buru-buru masukin buku ke tasnya.
Terus sambil senyum, dia nepuk kursi kosong di sebelahnya, ngasih kode biar aku cepet duduk.
Para pengunjung mulai ngelihatin kami dengan tatapan makin menusuk. Ada juga yang megang gelas sampai hampir pecah.
…Yah.
“Kayaknya aku bakalan mati deh..”
“Mau aku panggilin polisi?”
“Aku bakal dibunuh oleh segala bentuk rasa iri dan benci yang ada di ruangan ini.”
“Eh… kamu lagi ada masalah?”
" Iya..sampe sekarang."
Wakamiya keliatan bingung. Sepertinya dia belum sadar kalau dia sendiri adalah sumber masalahnya.
“Eh, ngomong-ngomong, kenapa tadi kamu bilangnya ‘seperti biasa’ sih?”
“Soalnya, kalau aku ngomong langsung, nanti malah bisa bikin orang salah paham. Jadi kupikir lebih aman kalau dibungkus dikit… tapi ternyata malah bikin heboh, ya?”
“Banget, malah kayak nyiram bensin ke api.”
"Yaudah, kalau gitu langsung bilang aja kalau kamu udah dapat restu dari orang tua"
"APAAN? kok malah jadi gitu !?
Dapat restu dari orang tua !?
Itu pertama kalinya aku denger. Aku bahkan nggak kenal orang tuanya, apalagi ngobrol sama mereka. Paling-paling aku cuma pernah lihat Wakamiya nelpon mereka dari kejauhan.
" Emangnya gak boleh juga ? Kamu kok egois banget sih.."
" Ya jelas nggak boleh lah!? memangnya orang tua kamu beneran bilang gitu? "
“Orang tuaku udah nganggep kamu cowok baik-baik. Bisa dipercaya buat nganter aku pulang dan nggak berbahaya. Jadi bisa dibilang kamu udah restu orang tua aku, kan?"
“…Oh kalau gitu sih oke..”
Antara seneng dan nyesek sih. Dibilang ‘nggak bernahaya’ itu agak nyakitin juga.
Tapi cara penyampaiannya itu lho… bikin bingung!
“Daripada ribet, kenapa nggak bilang aja kita tetangga atau kenalan, gitu.”
"Aku nggak jago berbohong, jadi susah."
"Padahal kamu jago banget ngeles."
"Eh, Tokiwagi-san ngomong sesuatu?"
"Nggak, nggak. Nggak ada apa-apa."
Aku langsung nyeruput minuman dan pura-pura ngeliat ke arah lain. Kulihat sepertinya salah satu pegawai melihat kami, tapi pas liat aku, langsung kabur.
Aduh, kerja yang bener napa…
"Ngomong-ngomong, aku penasaran, deh." Wakamiya mulai membuka obrolan lagi.
" Apa? "
“Kamu kan tiap hari kerja ya? Sabtu-Minggu juga?”
"Iya, soalnya nggak ada kegiatan lain. Tapi tenang aja, aku kerja tiap hari bukan demi ketemu kamu, kok."
"Ehh… aku nggak nganggep kamu kayak gitu, tahu."
Wakamiya menjawab dengan nada agak heran.
Tapi menurutku sih, cewek emang sebaiknya tetap hati-hati sama cowok. Soalnya, nggak semua cowok punya niat baik. Kadang ada yang cuma modus, pengen caper doang, atau malah gangguin beneran.
“Cuma aku kepikiran aja… kamu nggak apa-apa gitu ?”
" Maksud kamu capek ? Gak papa kok. Aku cukup kuat secara fisik."
"Bukan itu yang aku khawatirin."
Yaelah, setidaknya khawatir dikit dong!
"Yang aku khawatirkan itu… ujian semester. Kalau kamu kerja terus, kapan dong belajarnya?"
"Belajar? Buat apa? Gak ada gunanya juga buat masa depan"
"Kalau boleh nanya… Nilai ujian yang kemarin gimana?"
"Merah sih, biasa aja itu mah."
Tiba-tiba aku merinding, dan tubuhku gemetar.
Waktu aku menoleh, Wakamiya menatapku dengan pandangan dingin membeku.
…Aku ngelakuin apa, sih? Matanya serem banget…
"Aku mau bicara sama manajer sebentar."
"Hah!? Eh, tunggu!"
Wakamiya langsung berdiri dan pergi secepat kilat.
“Oke, Tokiwagi-san. Aku udah minta manajer buat ngubah jadwal kerja kamu. Jadi kamu punya waktu buat belajar.”
“HAH!? Kok kamu ngatur-ngatur sendiri sih!?”
"Biar kamu bisa belajar."
"Eh!? Tapi punya waktu belajar belum tentu bikin nilainya bagus, kan!? Lagian, dari sejak masuk sekolah aku hampir nggak pernah serius memperhatikan pelajaran!"
“Gak masalah.”
“Masalah banget, lah!”
“Kalau temenmu di sini, istirahatnya mending di luar aja, bareng dia.”
Aku coba nolak, tapi dia cuma ketawa sambil bilang, “Udah, udah, nggak usah banyak alasan,” sambil dorong aku keluar.
…Dari wajah nyengirnya sih, kelihatan banget dia lagi mikir yang aneh-aneh.
Dengan berat hati, aku pun jalan ke meja Wakamiya yang lagi makan donat kayak biasa. Mukanya bahagia banget.
“…Enak banget ya kelihatannya.”
“Eh, Tokiwagi-san lagi istirahat ya?”
“Yah, bisa dibilang begitu.”
“Kalau gitu, silakan duduk. Tapi tunggu sebentar, aku beresin dulu buku-bukuku.”
Dia buru-buru masukin buku ke tasnya.
Terus sambil senyum, dia nepuk kursi kosong di sebelahnya, ngasih kode biar aku cepet duduk.
Para pengunjung mulai ngelihatin kami dengan tatapan makin menusuk. Ada juga yang megang gelas sampai hampir pecah.
…Yah.
“Kayaknya aku bakalan mati deh..”
“Mau aku panggilin polisi?”
“Aku bakal dibunuh oleh segala bentuk rasa iri dan benci yang ada di ruangan ini.”
“Eh… kamu lagi ada masalah?”
" Iya..sampe sekarang."
Wakamiya keliatan bingung. Sepertinya dia belum sadar kalau dia sendiri adalah sumber masalahnya.
“Eh, ngomong-ngomong, kenapa tadi kamu bilangnya ‘seperti biasa’ sih?”
“Soalnya, kalau aku ngomong langsung, nanti malah bisa bikin orang salah paham. Jadi kupikir lebih aman kalau dibungkus dikit… tapi ternyata malah bikin heboh, ya?”
“Banget, malah kayak nyiram bensin ke api.”
"Yaudah, kalau gitu langsung bilang aja kalau kamu udah dapat restu dari orang tua"
"APAAN? kok malah jadi gitu !?
Dapat restu dari orang tua !?
Itu pertama kalinya aku denger. Aku bahkan nggak kenal orang tuanya, apalagi ngobrol sama mereka. Paling-paling aku cuma pernah lihat Wakamiya nelpon mereka dari kejauhan.
" Emangnya gak boleh juga ? Kamu kok egois banget sih.."
" Ya jelas nggak boleh lah!? memangnya orang tua kamu beneran bilang gitu? "
“Orang tuaku udah nganggep kamu cowok baik-baik. Bisa dipercaya buat nganter aku pulang dan nggak berbahaya. Jadi bisa dibilang kamu udah restu orang tua aku, kan?"
“…Oh kalau gitu sih oke..”
Antara seneng dan nyesek sih. Dibilang ‘nggak bernahaya’ itu agak nyakitin juga.
Tapi cara penyampaiannya itu lho… bikin bingung!
“Daripada ribet, kenapa nggak bilang aja kita tetangga atau kenalan, gitu.”
"Aku nggak jago berbohong, jadi susah."
"Padahal kamu jago banget ngeles."
"Eh, Tokiwagi-san ngomong sesuatu?"
"Nggak, nggak. Nggak ada apa-apa."
Aku langsung nyeruput minuman dan pura-pura ngeliat ke arah lain. Kulihat sepertinya salah satu pegawai melihat kami, tapi pas liat aku, langsung kabur.
Aduh, kerja yang bener napa…
"Ngomong-ngomong, aku penasaran, deh." Wakamiya mulai membuka obrolan lagi.
" Apa? "
“Kamu kan tiap hari kerja ya? Sabtu-Minggu juga?”
"Iya, soalnya nggak ada kegiatan lain. Tapi tenang aja, aku kerja tiap hari bukan demi ketemu kamu, kok."
"Ehh… aku nggak nganggep kamu kayak gitu, tahu."
Wakamiya menjawab dengan nada agak heran.
Tapi menurutku sih, cewek emang sebaiknya tetap hati-hati sama cowok. Soalnya, nggak semua cowok punya niat baik. Kadang ada yang cuma modus, pengen caper doang, atau malah gangguin beneran.
“Cuma aku kepikiran aja… kamu nggak apa-apa gitu ?”
" Maksud kamu capek ? Gak papa kok. Aku cukup kuat secara fisik."
"Bukan itu yang aku khawatirin."
Yaelah, setidaknya khawatir dikit dong!
"Yang aku khawatirkan itu… ujian semester. Kalau kamu kerja terus, kapan dong belajarnya?"
"Belajar? Buat apa? Gak ada gunanya juga buat masa depan"
"Kalau boleh nanya… Nilai ujian yang kemarin gimana?"
"Merah sih, biasa aja itu mah."
Tiba-tiba aku merinding, dan tubuhku gemetar.
Waktu aku menoleh, Wakamiya menatapku dengan pandangan dingin membeku.
…Aku ngelakuin apa, sih? Matanya serem banget…
"Aku mau bicara sama manajer sebentar."
"Hah!? Eh, tunggu!"
Wakamiya langsung berdiri dan pergi secepat kilat.
Beberapa menit kemudian
“Oke, Tokiwagi-san. Aku udah minta manajer buat ngubah jadwal kerja kamu. Jadi kamu punya waktu buat belajar.”
“HAH!? Kok kamu ngatur-ngatur sendiri sih!?”
"Biar kamu bisa belajar."
"Eh!? Tapi punya waktu belajar belum tentu bikin nilainya bagus, kan!? Lagian, dari sejak masuk sekolah aku hampir nggak pernah serius memperhatikan pelajaran!"
“Gak masalah.”
“Masalah banget, lah!”
Pelajaran tadi mulai dari mana aja, aku bahkan udah nggak inget lagi. Nyesek juga, tapi... aku bener-bener udah mentok. Soal belajar... ya, aku udah nyerah banget.
"Gapapa kok. Aku yang akan bantu kamu belajar."
"Nggak usah repot-repot juga sih, sebenernya..."
“Yaudah, kalau gitu aku akan bantu kamu semaksimal mungkin.”
"loh, Ini obrolan kita arahnya ke mana sih!?"
"Tadi kamu bilang 'nggak usah repot-repot', ya aku artikan "boleh"."
“Itu maksudnya aku nolak, bukan basa-basi !”
"Penolakan ditolak."
Wakamiya pun mencatat kata “belajar” di buku agendanya, lalu menarik garis dari hari ini sampai ke hari ujian. Wajahku mulai tegang, dan sudut bibirku gemetar.
"Jangan bilang setiap hari bakal belajar…?"
"Jelas, setiap hari."
"Aku tuh alergi belajar, bisa mati kalau kebanyakan."
"Gak ada alergi yang kayak gitu."
"Eh, tapi kamu ngabisin waktu buat aku malah bikin nilai kamu turun nanti, lho..."
"Itu juga nggak masalah. Aku pede kok ama kemampuanku."
Pernah nggak sih kalian pengen bilang, ‘Aku pede’ meski cuma sekali seumur hidup?
Aku sendiri, bahkan dalam mimpi pun nggak bisa ngomong begitu.
"Pokoknya, kamu belajar sama aku. Aku bakal bantu kamu agar dapet nilai yang bagus, jadi tunggu hasilnya, ya."
"Kenapa kamu sampe repot-repot kayak gitu sih ? dan kenapa harus aku?"
“Soalnya aku udah tahu kamu dapat nilai merah. Masa iya diam aja? Lagian… aku cuma pengin bantu aja.”
"Boleh nolak lagi gak ?”
"Penolakan ditolak. Hari ini kamu selesai jam 6 kan? Kita mulai hari ini juga."
"Hari ini!? Nggak bisa besok aja !?"
"Keberatan ditolak."
Serius…
Sekali Wakamiya udah ambil keputusan, dia nggak bakal goyah, aku cuma bisa tertawa kecut.
"Gapapa kok. Aku yang akan bantu kamu belajar."
"Nggak usah repot-repot juga sih, sebenernya..."
“Yaudah, kalau gitu aku akan bantu kamu semaksimal mungkin.”
"loh, Ini obrolan kita arahnya ke mana sih!?"
"Tadi kamu bilang 'nggak usah repot-repot', ya aku artikan "boleh"."
“Itu maksudnya aku nolak, bukan basa-basi !”
"Penolakan ditolak."
Wakamiya pun mencatat kata “belajar” di buku agendanya, lalu menarik garis dari hari ini sampai ke hari ujian. Wajahku mulai tegang, dan sudut bibirku gemetar.
"Jangan bilang setiap hari bakal belajar…?"
"Jelas, setiap hari."
"Aku tuh alergi belajar, bisa mati kalau kebanyakan."
"Gak ada alergi yang kayak gitu."
"Eh, tapi kamu ngabisin waktu buat aku malah bikin nilai kamu turun nanti, lho..."
"Itu juga nggak masalah. Aku pede kok ama kemampuanku."
Pernah nggak sih kalian pengen bilang, ‘Aku pede’ meski cuma sekali seumur hidup?
Aku sendiri, bahkan dalam mimpi pun nggak bisa ngomong begitu.
"Pokoknya, kamu belajar sama aku. Aku bakal bantu kamu agar dapet nilai yang bagus, jadi tunggu hasilnya, ya."
"Kenapa kamu sampe repot-repot kayak gitu sih ? dan kenapa harus aku?"
“Soalnya aku udah tahu kamu dapat nilai merah. Masa iya diam aja? Lagian… aku cuma pengin bantu aja.”
"Boleh nolak lagi gak ?”
"Penolakan ditolak. Hari ini kamu selesai jam 6 kan? Kita mulai hari ini juga."
"Hari ini!? Nggak bisa besok aja !?"
"Keberatan ditolak."
Serius…
Sekali Wakamiya udah ambil keputusan, dia nggak bakal goyah, aku cuma bisa tertawa kecut.